Dear all,

Selamat pagi. Semoga semua berbahagia.

Having children is one of the most wonderful gifts of life.

Kehadiran anak merupakan momen bahagia yang sulit digambarkan dengan kata-kata.

Anak pertama lahir. Kedua pihak keluarga besar suka cita (terlebih jika sang bayi merupakan cucu pertama dari kedua belah pihak).

Para eyang seolah memperoleh suntikan energi. Lutut kembali kuat. Punggung kembali tegak. Nikmatnya MC (Momong Cucu -red).

Anak pertama tumbuh di bawah sorotan lampu, sinar bangga sejuta rasa sayang. Anak pertama ibarat putra mahkota. Ditimang ibarat kristal.

Rasanya, tak ada bayi sesempurna dia.

(Jangan salahkan, tidak sedikit anak pertama yang agak bossy hehehe).

Waktu berlalu. Anak kedua lahir. Semua bahagia dan gembira; namun, mungkin tidak segegap gempita seperti ketika kakak lahir. Tidak seheboh ketika kakak lahir.

Di satu sisi, orangtua (khususnya ibu), sudah lebih santai. Saking santainya, imunisasi pun suka lupa.

Di lain sisi, mengurus 2 balita bukan kerja mudah. Urusan si kakak cukup menyita waktu ibu, apalagi kakak sudah bisa protes. Alhasil, tanpa sengaja, ibu seolah mendahulukan urusan kakak.

Misalnya, urusan tidur. Kakak rewel. Minta dipeluk. Minta disayang. Kakak tidur dipeluk ibu. Adik tidur dengan posisi agak disisihkan. Adik yang diminta untuk mengalah.

Sejalan dengan waktu, adikpun belajar. Belajar “hidup”. Sejak dini dia paham, harus putar otak, harus bikin strategi, bagaimana cara merebut atensi dan cinta dari ibu dan ayahnya. Sejak dini, ia belajar “menguasai” lingkungan.

Selang beberapa waktu, aah.. adik hadir. Anak ke-3. Wooow! Setelah 2 kakak agak besar, kehadiran bayi disambut hangat, keluarga memperoleh “mainan”. Semua excited apalagi kalau direncanakan, ini anak bungsu.

Sebagai yang terkecil, perhatian tertumpah pada “si bungsu” karena dianggap dia yang “terlemah”. Semua protektif, melindungi.

Maka si bungsu ini pun tumbuh di bawah sorotan lampu panggung. Kadang, orang bilang, anak bungsu itu tetap kecil, meski sudah besar.

Jadi?

Anak yang di tengah, sering dijuluki sebagai the Wednesday child. Kadang “lenyap” ditelan kehebohan si kakak dan si adik. Kadang, ia merasa sendiri. Merasa terjepit.

The man in the middle.

Sebagian anak tengah, “meledak” ketika memasuki masa remaja. Seolah berontak, toh selama ini, ia seolah terbenam. Merasa, selama ini, ia luput dari perhatian ayah dan bunda. Nobody’s child … mungkin itu yang dia rasa …

Lalu harus bagaimana?

Adilnya itu bentuknya seperti apa?

Selain luangkan waktu untuk bersama-sama dan berkeadilan dalam kebersamaan, usahakan orang tua menyisihkan untuk punya waktu – khusus dengan setiap anak.

Misalnya, luangkan 1 jam dengan kakak dan kita katakan, ibu mau ke pasar sama kakak ya.

Siangnya, ibu main badminton dengan si tengah.

Di antaranya, ibu main dan menyusui si adik.

Usahakan agar setiap anak merasa, he/she is the most special person for parents.

Happy parenting

Wati

Share artikel ini: