Apa itu Artificial Intelligence?
Mungkin ada yang belum familiar dengan Artificial Intelligence atau AI. Seperti namanya, artificial artinya buatan dan intelligence artinya kepintaran. AI adalah simulasi kecerdasan manusia dalam bentuk mesin yang diprogram untuk bisa berpikir seperti manusia dan bisa meniru tindakannya. Manusia ketika menghadapi suatu masalah akan bertindak berdasarkan pengalaman dan apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Sama hal nya dengan AI, data masif yang diinput dan kemudian diproses mampu membuat AI berpikir sendiri.
Apa saja contoh AI di sekitar kita?
Contoh AI adalah aplikasi Siri di iPhone atau Bixby di handphone Samsung.
Apa hubungannya AI dengan dunia medis?
Tujuan seorang pasien datang ke dokter adalah mengetahui diagnosisnya dan mencari penyebab penyakitnya. Sebagai seorang dokter yang baik semua tindakan dan keputusan klinis harus didasari Evidence-based Medicine. Yaitu berdasarkan temuan klinis dihubungkan dengan bukti ilmiah penelitian yang sudah ada, dan kemudian menjadi acuan dalam memberikan pelayanan. Saat ini di dunia AI yang sedang berkembang, dibuat algoritma-algoritma yang mampu melakukan hal tersebut. Salah satu nya adalah Machine Learning. Algoritma tersebut bekerja dari data yang ada, dicari polanya, kemudian diolah menjadi sebuah keputusan klinis.
Apa yang membedakan AI dengan manusia?
Yang membedakan adalah AI dapat memproses data secara masif, simultan dan lebih cepat. Beberapa dekade terakhir penelitian ilmiah di seluruh dunia tersimpan dalam bentuk digital, hal ini tentunya akan meningkatkan “bank data” dari AI. Tapi perlu dipertimbangkan juga bahwa tidak semua data tersebut merupakan data yang sehat.
Di era AI, apakah peran menegakkan diagnosis tidak lagi menjadi milik dokter?
Ada 2 algoritma AI terbaru yang dikembangkan.
-
Yang pertama, pada tahun 2018 peneliti dari Seoul National University Hospital and College of Medicine mengembangkan Deep Learning based Automatic Detection (DLAD) yang dapat menganalisa hasil rontgen thoraks dan menemukan adanya pertumbuhan sel abnormal seperti keganasan. Algoritma ini mampu menunjukan adanya kelainan dimana 17 dari 18 dokter tidak dapat temukan pada slide yang sama.
-
Contoh kedua, peneliti dari Google AI Healthcare pada tahun 2018 membuat algoritma bernama Lymph Node Assistant (LYNA) yang dapat menganalisa gambaran histologi jaringan untuk menemukan adanya metastase kanker payudara dari biopsi kelenjar getah bening. Ini bukan pertama kalinya algoritma AI dapat menganalisa jaringan histologi, namun LYNA dapat menemukan jaringan abnormal yang sulit dilihat oleh mata manusia. Hasil dari dua kali tes ditemukan LYNA mampu menganalisa 99% akurat jaringan ganas atau jinak.
Dapat disimpulkan algoritma DLAD dan LYNA dapat membantu meningkatkan keakuratan diagnosis dari seorang dokter. Tentunya apabila AI sudah jauh berkembang akan timbul banyak pertanyaan dalam peran dokter melayani pasien. Apakah dokter menjadi second opinion dari AI, atau menjadi pengawas dari proses analisa AI, atau menjadi orang yang bertugas menjelaskan apa hasil dari analisa AI tersebut?
Sebagai seorang dokter, apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi berkembangnya AI?
Tentunya manusia sebagai seorang dokter memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh AI. Dokter memiliki empati, intonasi suara dan bahasa non-verbal yang dapat membuat pasien merasa diberi perhatian dan merasa dilindungi. Hal tersebut tidak bisa ditiru, sehingga AI tidak bisa memberikan perawatan secara holistik. Di tengah kemajuan teknologi dan perkembangan AI, seorang dokter harus bisa menempatkan diri dan meningkatkan kemampuan. Selain penting meningkatkan keilmuan, namun tak kalah penting juga meningkatkan teknik pemeriksaan, memberikan edukasi dan menunjukan empati terhadap pasien. (aditya)
Sumber:
CADTH issues in emerging health technologies; issue 174
J. Clin. Med. 2019, 8, 360