Penemuan antibiotik telah merevolusi dunia kedokteran secara global. Orang tidak lagi khawatir luka sayatan bisa berubah jadi infeksi parah dan menyebabkan kematian. Dunia patut berterima kasih kepada Alexander Fleming yang pada tahun1928 telah menemukan bahwa dalam skala laboratorium cendawan Penicillium notatum terbukti memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri tertentu yang kemudian menjadi cikal bakal obat penisilin.
Sekitar 20 tahun kemudian penisilin pun sudah diproduksi massal dan tersedia di pasaran. Sejak itu, penggunaannya kian meluas untuk berbagai penyakit infeksi. Obat antibiotik ini telah menyelamatkan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan prajurit dan masyarakat sipil selama Perang Dunia II.
Berbagai jenis antibiotik masih diresepkan oleh dokter kepada pasien sampai saat ini. Antibiotik termasuk sebagai obat keras sehingga penggunaannya harus dengan resep dokter.
Sayangnya, banyak masyarakat yang membeli dan mengonsumsi antibiotik tanpa anjuran dokter. Bahkan, rasanya kurang jika setelah berobat ke dokter tapi tidak diresepkan antibiotik. Antibiotik pun ibarat “obat dewa” yang bisa menyembuhkan atau setidaknya meringankan segala macam penyakit. Padahal, tidak. Antibiotik bukanlah “peluru ajaib” yang bisa membunuh semua penyebab penyakit.
Lihat saja data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang menunjukkan bahwa ada 35 persen masyarakat yang menyimpan obat di rumah. Dari semua obat yang disimpan itu, 27,8 persen di antaranya merupakan antibiotik dan 35,7 persen termasuk obat keras.
Itu artinya banyak warga mengonsumsi obat, termasuk antibiotik dan obat keras, secara bebas tanpa memperhatikan ketepatan diagnosis. Warga kerap membeli secara bebas obat yang seharusnya diresepkan dokter.
Perlu diketahui bahwa penyebab penyakit ada bermacam-macam. Ada penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, juga jamur. Obat yang dibuat untuk melawan penyakit pun disesuaikan dengan penyebab penyakitnya apa. Contohnya, obat untuk melawan penyakit yang disebabkan oleh bakteri adalah antibiotik, obat untuk melawan penyakit akibat virus antivirus, dan kita memakai obat antijamur untuk melawan penyakit karena jamur.
Antibiotik termasuk obat keras yang dipakai untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan bakteri. Oleh karena itu, antibiotik tidak akan efektif mengobati penyakit yang disebabkan virus atau jamur. Begitu juga sebaliknya. Obat antivirus tidak akan efektif menyembuhkan penyakit karena bakteri atau jamur.
Apabila antibiotik digunakan untuk melawan penyakit yang bukan disebabkan oleh bakteri atau dikonsumsi tidak sesuai rekomendasi medis justru bisa berakibat fatal. Risiko terbesar adalah kuman penyebab penyakit menjadi kebal terhadap antibiotik. Ketika kuman penyebab penyakit sudah kebal terhadap antibiotik maka akan sangat sulit mengobati penyakitnya.
Bisa dibayangkan betapa besar dampak yang akan dirasakan masyarakat jika satu penyakit yang disebabkan bakteri tidak bisa lagi disembuhkan oleh antibiotik tertentu. Pilihan obat untuk terapi pun menjadi sangat terbatas. Proses pencarian antibiotik yang masih efektif atau bahkan pengembangan antibiotik baru akan memakan waktu lama. Akibatnya, pasien yang menderita penyakit tersebut akan lebih lama sembuh.
Untuk itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan masyarakat adalah jangan buru-buru mengonsumsi antibiotik jika batuk, flu, dan diare tanpa darah. Tiga penyakit itu disebabkan virus. Konsumsi antibiotik justru akan membuat bakteri kebal antibiotik. (Aditya-Kom)
Sumber:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3673487/,
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013,
“Era Kegelapan Pascaantibiotik Mengancam”, Kompas, 21 November 2015