Dalam kurun waktu sebulan yaitu Oktober-November 2017, ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB Difteri di wilayah kabupaten/kotanya, yaitu: Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Awal Desember 2017 ini, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan pemetaan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di wilayah Indonesia hingga minggu ke-44 di tahun 2017 beberapa waktu lalu. Gambarannya sungguh memprihatinkan, 95 kabupaten/kota dari 20 provinsi ditandai warna merah yang artinya mengalami KLB Difteri. Kasus terbanyak terjadi di Jawa Timur sebanyak 271 kasus, 11 kasus diantaranya berakhir dengan kematian. Peringkat kedua adalah Jawa Barat dengan 95 kasus difteri dan 10 di antaranya meninggal. Peringkat ketiga adalah Banten, kemudian disusul Aceh dan Sumatera Barat. Status KLB Difteri ini adalah untuk kesekian kalinya di Indonesia.
Kita harus waspada! Penularan difteri sangat cepat padahal penyakitnya ini sangat berbahaya, komplikasinya umumnya berujung pada kematian. Penularan difteri melalui percikan air dari saluran pernafasan saat batuk atau bersin. Dapat juga karena menyentuh benda-benda yang terkontaminasi bakteri penyebab difteri.
Mari kenali Difteri
Difteri adalah infeksi yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae. Toksin yang dihasilkan bakteri tersebut saat berada di saluran pernafasan akan merusak jaringan sehat pada saluran nafas. Dalam dua hingga tiga hari akan terbentuk pseudomembran (selaput tebal berwarna putih keabu-abuan).
Pseudomembran ini awalnya hanya menyebabkan sakit menelan tetapi selanjutnya dapat menyelimuti rongga hidung, amandel, pita suara dankerongkongan sehingga dalam waktu singkat menutup jalan nafas. Apabila toksin masuk ke sistem peredaran darah dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan saraf.
Gejala lain adalah nyeri saat menelan, pembengkakan kelenjar getah bening di leher (bull’s neck), demam, lemas, kesulitan bernafas atau nafas cepat. Difteri dapat mengakibatkan kematian. Sekitar 1 dari 10 orang penderita difteri akan meninggal walaupun telah diobati, bahkan 1 dari 2 orang penderita akan meninggal bila tidak diobati.
Pengobatannya adalah dengan antitoksin dan antibiotik. Penderita difteri akan diisolasi setidaknya selama 48 jam setelah pemberian antibiotik untuk menghindari penularan pada orang lain. Sementara itu orang-orang yang berada di sekitar penderita juga akan menjalani pemeriksaan untuk memastikan tidak tertular, atau membawa bakteri berbahaya ini.
Siapa saja yang berisiko terkena difteri? Anak-anak dan orang dewasa yang belum pernah menerima imunisasi difteri berisiko tinggi terkena penyakit ini. Anak-anak dan orang dewasa yang pernah menerima imunisasi difteri namun tidak melakukan imunisasi ulang (booster) masih berisiko menderita penyakit ini. Selain itu orang-orang yang tinggal di daerah yang padat dengan pola sanitasi dan kebiasaan hidup yang kurang sehat juga berisiko terpapar.
Ayo imunisasi!
Merebaknya wabah difteri di Indonesia saat ini dikarenakan banyaknya
Penolakan imunisasi oleh masyarakat, padahal satu-satunya cara pencegahan yang efektif adalah imunisasi. Lakukan imunisasi DPT (Difteri Pertusis Tetanus) pada anak-anak di usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan dan usia 4-6 tahun. Setelah itu usia 11-12 tahun lakukan imunisasi ulang DT (Difteri Tetanus). Imunisasi ulang berikutnya perlu dilakukan setiap 10 tahun sekali.
Apabila anak-anak belum pernah menerima imunisasi primer difteri (DPT di usia 2, 4 dan 6 bulan), maka perlu dilakukan imunisasi primer dengan jarak waktu 4 minggu untuk masing-masing suntikan.
Anak-anak setelah imunisasi dapat mengalami demam, merah dan bengkak pada bekas suntikan dan lesu. Akan tetapi hal-hal tersebut umumnya tidak berlangsung lama, sekitar 1- 7 hari saja. Bila anak menjadi rewel, berikan paracetamol untuk membuat anak lebih nyaman dan kompres bagian tubuh yang merah dan bengkak akibat suntikan.
Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, keberhasilan pencegahan difteri dengan imunisasi sangat ditentukan oleh cakupan imunisasi minimal 95%. Jadi mari kita berikan yang terbaik untuk anak-anak kita, anak-anak Indonesia, perlindungan terbaik dari difteri dan penyakit-penyakit lainnya dengan imunisasi! (Sylvi)
Note :
Teknis Pelaksanaan Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri
Jenis Vaksin DPT yang beredar di Indonesia saat ini :
Sumber :