Dear all,
Selamat pagi. Semoga semua berbahagia.
Siapa yang tidak kenal puyer? Hampir semua pasien anak, resepnya dalam bentuk puyer. Bahkan, dokter orang dewasa pun ikut-ikutan memperoleh obat dalam bentuk puyer (dengan “kemasan” kapsul).
PUYER, APAKAH ITU?
Secara harfiah, kata puyer berarti serbuk. Berasal dari bahasa Belanda. Identik juga dengan kata, poeder.
Secara kontekstual, puyer adalah proses dispensing obat dengan cara digerus, baik satu maupun beberapa obat sekaligus. Obat yang digerus adalah obat jadi, hasil produksi industri farmasi, yang proses pembuatannya sudah sesuai dengan kaidah CPOB alias, Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Bahkan, sejak beberapa tahun yang lalu, ada puyer yang disertakan kemasan sirup (puyernya dimasukkan ke sirup dan faskes (fasilitas kesehatan -red) menyediakan berbagai rasa sirup).
Dispensing seperti menimbulkan tanda tanya besar terkait stabilitas obatnya dan terkait kaidah CPOB yang seharusnya diperhatikan dan dipatuhi.
Sedikitnya ada dua hal yang bisa kita angkat terkait praktek peresepan puyer.
PERTAMA, kaitannya dengan obat esensial.
KEDUA, kaitannya dengan penggunaan obat rasional (RUM) berbasis BUKTI/EVIDENCE alias EBM (Evidence Based Medicine -red).
SEJARAH PUYER?
Jaman dahulu, puyer dibuat ketika sediaan obat sirup untuk anak, belum tersedia.
Saat ini, dunia kedokteran mengalami perkembangan pesat, termasuk di sektor tatalaksana dan obat.
Dunia kedokteran dan farmasi, terus mengupayakan agar sediaan obat esensial untuk anak (populasi pediatri), available dan accessible.
Bisa dilihat di daftar obat esensialnya WHO, daftar obat yang tersedia untuk populasi pediatri, sudah lengkap.
Bisa juga dipelajari: FORNAS, Formularium Nasional, yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI, dan disusun berkala oleh para pakar. Sediaan pediatri tercantum disana disertai indikasi penggunaannya.
Catatan: please bongkar CAPING perihal obat (no 21).
Jadi, dari kedua hal di atas (fornas dan daftar obat esensial nya WHO) menunjukkan bahwa kita punya sediaan obat untuk anak.
MENGAPA PERESEPAN DI INDONESIA DIWARNAI dengan PERESEPAN PUYER?
Mungkin menarik jika dilakukan telaah sosiokultural per-puyeran di Indonesia. FYI (for your information -red), di luar Indonesia, tidak dikenal peresepan puyer. Sedangkan dari sisi aspek ilmiah medis, obat kombinasi secara perlahan mulai amat sangat berkurang.
Dari sisi aspek produksi, kalau memang resep kombinasi puyer itu yang terbaik (baca= efektif dan aman), maka mengapa tidak diproduksi polifarmasi obat bapil yang sering diresepkan buat anak?
Namun, secara anekdotal, beberapa alasan ini yang sering dikemukakan:
1. MUDAH:
Kalau anak butuh obat banyak, pencampuran dalam bentuk puyer, memudahkan pemberiannya.
Masalah:
A. Kapan anak butuh obat banyak?
Mayoritas kunjungan ke poliklinik anak (unit rawat jalan, adalah ISPA Atas (common cold) dan demam.
EBMnya, TIDAK butuh obat banyak!
Lalu, anak batuk pilek yang diberi puyer, isinya obat apa saja?
Berdasarkan penelitian pola peresepan dan pengamatan anekdotal, obat-obatan yang diberikan pada anak bapil umumnya terdiri dari anti histamin (anti alergi), beta agonis/bronkodilator (obat asma), pseudoefedrin (dekongestan), dll.
B. Proses informasi terkait setiap obat yang disatukan di puyer tersebut.
Sesuai panduan WHO, suatu zat baru bisa diperlakukan sebagai obat, apabila sudah disertai pemberian informasi yang jelas. Informasi yang terdiri dari 5 komponen yaitu kandungan aktif, cara kerja/indikasi, risiko efek samping, interaksi obat, indikasi kontra.
Plus informasi perihal pilihan generiknya, pilihan harganya.
Bagaimana kondisi nyata di lapangan? Apakah pasien diberi 5 komponen informasi tadi untuk SETIAP obat yang dipuyerkan???
Di lain pihak, puyer kombinasi obat sering tidak disadari orang tua bahwa isinya lebih dari satu obat.
2. MURAH:
Alasan yang sering dikemukakan (nakes), murah. Kalau butuh obat banyak, kalau bentuknya puyer, jatuhnya lebih murah.
Alasan ini, sangat lemah!
Pertama, anak tidak butuh obat tetapi diberi beberapa obat (yang TIDAK dia butuhkan), justru bayar sangat amat mahal dong. Kok bisa? Super mahal karena harus bayar obatnya (plus biaya ongkos puyer) dan bayar zat kimia tak manfaat yang masuk ke tubuh dia, yang potensial ada risiko efek samping.
Biaya nebus resep puyer = harga obat + harga menggerus puyer + harga risiko efek samping.
Kedua,
Alasan murah ini juga keliru besar karena puyer juga diresepkan di RS swasta bintang lima! (Untuk)Pasien sosial ekonomi tinggi alias tidak miskin.
Keliru besar juga puyer itu murah, di negara sedang berkembang lainnya, India, Afrika, Bangladesh, Srilanka, TIDAK ADA PUYER!
Kalau benar puyer is the best and yet not expensive, pasti sudah dianjurkan WHO untuk diadopsi oleh negara berkembang lainnya!
3. LAIN-LAIN:
Misalnya:
A. Selama ini tidak ada korban peresepan puyer.
Reaksi efek samping obat sering tidak diketahui, termasuk oleh si pasien dan keluarganya.
Membuktikan suatu kondisi terjadi akibat efek samping obat, juga tidak mudah.
Lagipula, mengapa ambil risiko kalau ada terapi yang lebih aman? Terapi berbasis evidence/bukti. Terapi yang rasional sehingga aman dan efektif.
B. Tidak sedikit juga yang menyatakan, puyer:
Terbaik untuk Indonesia.
Entah apa maksudnya.
Semua anak, termasuk anak Indonesia, DESERVE the BEST standard of treatment!
Yang seperti apa sih tatalaksana penyakit yang terbaik? Yang rasional, yang berdasarkan guideline/panduan berbasis bukti.
C. Alasan lain,
Tidak semua obat pediatri tersedia kemasan ramah anak.
Memang obat jantung, obat hipertensi, belum ada sediaan sirupnya. Sila digerus, sebelum dikonsumsi.
Tapi ingat, yang diberi puyer itu bukan anak sindrom nefrotik, bukan anak gagal jantung. Yang diresepkan puyer itu anak demam, bapil. Yang tidak butuh obat, baik puyer atau sirup.
PUYER, BEBAS ATAU SARAT MASALAH?
Prof. DR. dr. Rianto Setiabudy, SpFK menyatakan bahwa peresepan puyer menyandang banyak masalah terkait keselamatan pasien.
Beberapa masalah terkait puyer:
A. Tingginya faktor kesalahan manusia.
B. Stabilitas obat
C. Risiko toksisitas
D. Pencemaran lingkungan
E. Tingkat higienis
F. Mengurangi efektivitas obat
G. Sulit melacak penyebab efek samping, obat yang mana (menimbulkan masalah)
H. Lebih mahal
I. Potensial tidak rasional
Obat yang sudah mendapat izin edar adalah:
– Obat yang sudah melalui proses penelitian panjang. Penelitian uji klinis sehingga terbukti efektif dan aman.
– Obat yang diproduksi dengan persyaratan ketat (CPOB), sehingga kandungan obat tetap stabil dan efektif.
Ketika obat yang sudah melalui proses ketat (termasuk dari sisi higienenya), dibuka dari kemasannya, digerus dan dicampur, dibagi ke tiap sachet dengan mata, maka semua kaidah CPOB, dilanggar.
Obat juga potensial tidak lagi stabil alias rusak, sehingga efektivitasnya berkurang.
Dan seterusnya, dan seterusnya, rentetan permasalahan yang bisa timbul akibat dispensing obat dalam bentuk puyer.
MENGAPA PUYER DIRESEPKAN?
Entahlah.
Lucunya, saat suatu RS sedang dalam proses akreditasi JCI, mereka menghentikan peresepan puyer (setelah sertifikasi JCI diperoleh, apakah kembali meresepkan puyer? Wallahu allam).
Saya teringat presentasi Prof. Iwan Dwi Prahasto. Salah satu statement Beliau yang makjleb adalah, peresepan puyer adalah purbakala.
Sayangnya, masih banyak yang denial, termasuk para pharmacists yang seharusnya sudah paham dan berani berbuat sesuatu untuk mengurangi praktek peresepan seperti ini.
Untungnya, sudah ada fakultas kedokteran yang tidak lagi mengajarkan perpuyeran. Semoga disusul oleh fakultas kedokteran lainnya; sebetulnya, peran para ahli farmakologi klinik sangat besar dan bisa sangat kuat untuk meredam peresepan seperti ini.
JADI?
Saya kutip penggalan pidato pengukuhan Prof. Iwan DP:
“Menggerus tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk sediaan anak, atau
Menggerus tablet atau kaplet untuk dijadikan salep atau krim adalah bentuk off label use yang jamak ditemukan.
Hal itu terjadi secara turun temurun, berlangsung puluhan tahun tanpa ada yang sanggup menghentikannya.
Melestarikan penyimpangan, menikmati kekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan tampaknya sudah menjadi hedonisme peresepan.
Yang satu mengajarkan dan yang lain mengamini sambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasi informasi yang tidak berbasis bukti.
Perlu segera dikoreksi.
Jika praktek-praktek primitif itu tetap dipertahankan, keselamatan pasien (patient safety) jadi taruhannya”.
Jadi?
Disclaimer:
Tolong jangan diartikan bahwa jika yang diresepkan itu sirup, maka pasti sudah benar (RUM = rational use of medicine).
Kita berikan obat kalau memang butuh obat.
Sebaliknya, ketika tidak butuh obat, then, be it. Jangan ke dokter untuk minta obat. Kita ke dokter untuk berkonsultasi. Mendiskusikan diagnosis dan tatalaksananya. Jika butuh obat, mintalah 5 informasi terkait si obat (akan dibahas lebih lanjut di CAPING terkait RUM).
Let it (puyer) stay as history.
Salam
Wati